COVID, covid, atau Covid?
Hmmm, kalau nama penyakit seperti SARS, AIDS, dan MERS sih mereka sama-sama ditulis dengan huruf besar semuanya. Bagaimana dengan penyakit koronavirus, ya?
Sepanjang sejarah manusia, baru kali ini ada penyakit yang penulisannya tidak menemui kesepakatan antara media, pemerintah, dan publik di seluruh dunia. Istilah lainnya, gak seragam!
Musababnya, berawal dari pengumuman dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) yang akhirnya memberi nama penyakit baru tanggal 11 Februari 2020, setelah adanya sebuah wabah tak diketahui yang merebak di kota Wuhan, Tiongkok, dilaporkan ke badan tersebut pada hari terakhir di tahun 2019 itu.
Ya, seperti biasa, WHO menulis nama penyakit tersebut dengan huruf kapital seluruhnya, COVID-19. Nah, kalau kalian lihat di Wikipedia tentang daftar singkatan nama-nama penyakit, itu rata-rata penulisannya pakai huruf besar semua, termasuk SARS dan MERS.
Memang sih, itulah yang “resmi” menurut dunia ilmiah dan kesehatan. Namun, di kalangan media, pemerintah, dan publik tak semuanya pakai penulisan seperti itu. Bahkan, malah enggan.
Maka, muncullah variasi penulisan lain: covid-19 dan Covid-19.
Lha, kok bisa begitu?
Jika dilihat dari cara pengucapannya, kependekan dari coronavirus disease 2019 ini lebih ke akronim. Soalnya, dilafalkan sebagai kata atau suku kata demi suku kata (COVID dibaca ko-vid). Berbeda dengan tuberculosis yang memang merupakan singkatan, karena diucapkan huruf per huruf (TB dibaca te-be).
Sedangkan, menurut kaidah dalam Bahasa Indonesia, akronim memang ditulis dengan banyak cara.
Salah duanya adalah,
Ada yang ditulis dengan huruf kecil semua (contoh: tilang atau bukti pelanggaran),
Ada pula yang merupakan nama diri, badan (termasuk nama penyakit juga, mungkin) yang merupakan rangkaian dari huruf-huruf yang membentuk kependekan itu, dan huruf awalnya ditulis dengan huruf kapital (contoh: Wagub atau wakil gubernur).
Perbedaan sudut pandang terhadap penulisan akronim dari penyakit virus korona inilah yang membuat media, pemerintah, dan publik tidak satu suara dalam menulis penyakit yang disebabkan SARS-CoV-2 ini. Belum lagi alasan mereka dalam memilih salah satu dari versi penulisannya.
Bagi yang memilih menulis dengan ‘COVID-19’, mereka sepertinya mengikuti apa yang dianjurkan WHO, atau agar konsisten dengan cara penulisan nama penyakit sebelumnya yang pakai huruf besar seluruhnya (SARS dan MERS).
Begitu pula dengan ‘Covid-19’ dan ‘covid-19’, yang bagi sebagian media, pemerintah, dan publik beralasan, agar lebih nyaman dibaca oleh khalayak. Ya, begitulah.
Nah, beragam penulisan itulah yang kutemui di berbagai media massa, tulisan-tulisan dari warganet dan akun-akun media sosial, serta narablog. Jangankan di dalam negeri, di luar negeri juga ada. Di negeri tetangga, bahkan dalam media berbahasa Inggris sekalipun (contoh: BBC dan The Guardian), ternyata masih ada yang menulis ‘Covid-19’ meskipun, memang sebagian besar dari berbagai media di dunia, penyakit koronavirus 2019 ditulis sebagai ‘COVID-19’.
Terus, bagaimana di dalam negeri sendiri?
Rupanya, berdasarkan voting yang dilakukan oleh pegiat bahasa Ivan Lanin, yang memilih ‘Covid-19’ lebih unggul dari ‘COVID-19’, hanya saja dengan selisih yang sangat tipis sekali, 0,2%!
Artinya apa? Kedua versi penulisan tersebut sama-sama umum digunakan di semua media! Sebenarnya, memang ada versi penulisan lainnya, ‘covid-19’, namun penggunaannya tidak sebanyak ‘Covid-19’ dan ‘COVID-19’. Apalagi setelah saya memantaunya, itu cukup jarang ditemui.
Walaupun demikian, berdasarkan pantauan saya di pratinjau e-paper, hampir di semua media massa nasional pakai penulisan ‘Covid-19’. Hanya harian Media Indonesia yang menggunakan ‘covid-19’, dan Indopos yang bercampur antara ‘Covid-19’ dan COVID-19’.
Adapun di media massa online, ada yang menulis ‘COVID-19’ (Antaranews, Detikcom, Kumparan), ‘Covid-19’ (Kompas.com, CNN Indonesia, Republika.co.id), dan ‘covid-19’ (Media Indonesia). Terkadang, ada juga situs berita yang menuliskan penyakit koronavirus ‘Covid-19’ di kabar yang satu, ‘COVID-19’ pada kabar lainnya (CNBC Indonesia, Liputan6.com).
Di media-media Pemerintah dan Kementerian, juga banyak yang menggunakan ‘Covid-19’ meskipun ada juga yang menuliskannya dengan ‘COVID-19’. Namun, di media cetak ilmiah seperti buku dan makalah, tentu saja ditulis sebagai ‘COVID-19’.
Ya, apa pun alasan penggunaannya, itulah keunikan dari berbahasa.
Kalian, pakai penulisan penyakit virus korona 2019 dengan versi apa? COVID-19, covid-19, atau Covid-19?
Referensi: